Friday, May 31, 2013

[Cerita] Mengenang dan Meneladani Perjuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman (Di Museum Brawijaya Malang)

Cerita has posted a new item, 'Mengenang dan Meneladani Perjuangan Panglima
Besar Jenderal Soedirman (Di Museum Brawijaya Malang)'





Soedirman, dikenal sebagai sosok pejuang tangguh yang berhasil mengorganisir
batalyon PETA menjadi sebuah resimen di Banyumas. Saat mulai terbentuknya
Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Soedirman dipercaya sebagai Panglima Divisi V/
Banyumas dengan pangkat Kolonel.. Setelah konferensi TKR 12 November 1945,
Soedirman terpilih sebagai Panglima Besar (Pangsar) TKR/ Panglima Angkatan
Perang Republik Indonesia. Disaat itulah Pangsar Soedirman dengan pasukannya
menunjukkan baktinya dengan memukul mundur Inggris dari Ambarawa dalam
pertempuran 5 hari yang dikenal sebagai Palagan Ambarawa.



Nampaknya, Belanda tidak rela dengan Proklamasi Kemerdekaan yang sudah
dikumandangkan oleh Soekarno-Hatta. Maka, 21 Juli 1947 Belanda melancarkan
Agresi Militer Pertama. Pangsar Soedirman tak tinggal diam. Berkumandanglah kata
sandi IBU PERTIWI MEMANGGIL. SIAP MAJU JALAN. Ini merupakan perintah langsung
dari Pangsar Soedirman untuk membalas serangan Belanda. Pangsar Soedirman
berpesan pada seluruh angkatan perang dan laskar-laskar dengan kalimat:
Kemerdekaan yang telah dimiliki dan dipertahankan jangan sekali-kali dilepaskan
dan diserahkan kepada siapapun yang menjajah dan menindas kita, membuat seluruh
pasukan pejuang tak gentar menghadapi lawan. Karena perlawanan yang sengit dari
pihak pejuang Indonesia, maka Belanda mengajukan gencatan senjata. Hasilnya,
cukup pahit bagi para pejuang. Mereka hasrus meninggalkan markas-markas yang
telah dikuasai dan harus hijrah menuju daerah yang disebut sebagai daerah RI
Untuk meneguhkan dan menenangkan pasukan, Pangsar Soedirman berpesan saat
memerikas pasukan di Borobudur dengan mengatakan bahwa Percaya dan Yakinlah,
bahwa kemerdekaan suatu negara yang didirikan di atas timbunan reruntuhan ribuan
jiwa harta benda dari rakyat dan bangsanya, tidak akan dapat dihapuskan oleh
manusia siapapun juga


Lalu untuk menyesuaikan dengan struktur ketentaraan maka, pada tanggal 27
Februari 1948, berdasarkan Penetapan Presiden No. 9/1948, Jenderal Soedirman
ditunjuk sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Mobil dengan wakilnya Mayjen
A.H. Nasution.


Perang Gerilya
Dua belas hari setelah memadamkan pemberontakan Madiun, Pangsar Soedirman
akhirnya bisa membuktikan bahwa Belanda memang tidak dapat sepenuhnya dipercaya
seperti yang selama ini beliau katakan pada pemerintah. Tanggal 19 Desember
1948, Belanda melancarkan serangannya ke Ibukota Republik di Jogyakarta dan
daerah-daerah RI lainnya. Pasukan parasut mula-mula menduduki Lapangan Terbang
Maguwo, kemudian bergerak menuju Ibukota. Jogjakarta
Mendengar berita ini, walaupun sakit sehabis operasi paru-paru akibat TBC,
Pangsar Soedirman berangkat ke Istana menghadap Presiden. Pangsar mengajak
Presiden untuk melakukan perjuangan militer di luar kota dengan membentuk
front-front perlawanan. Tapi jawaban presiden di luar dugaan. Presiden meminta
Pangsar kembali ke rumah. Artinya semua pejabat pemerintah termasuk pimpinan
angkatan perang tetap tinggal di kota. Pangsar Soedirman menjawab tidak mau di
dalam kota. Beliau ingin dekat dengan anak buahnya. Karena tempat terbaik adalah
ditengah-tengah anak buah. Saya memutuskan untuk meneruskan gerilya dengan
sekuat tenaga seluruh prajurit, tegas Pangsar Soedirman pada Presiden.

Itulah Pangsar Soedirman. Mati sebagai prajurit merupakan sebuah kehormatan.
Maka Jogjakarta pun ditinggalkan.Beberapa perhiasan istrinya dijual untuk bekal
perjuangan. Dengan pasukannya beliau mulai menelusuri jalan-jalan tikus menuju
Bantul, Wonosari, Pracimantoro, Wonogiri, Ponorogo dan Trenggalek Perjalanan
dengan jalan kaki itu harus melalui medan yang berat. Naik gunung turun gunung.
Masuk hutan keluar hutan. Berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Ini
bukanlah perjalanan yang ringan. Apalagi Pangsar Soedirman sakit keras. Obat
sangat sulit diperoleh. Tak jarang pasukan terpaksa tidak makan apapun selama
beberapa hari. Belum lagi pasukan Belanda yang selalu berusaha menangkapnya.
Seringkali terjadi kontak senjata. Bahkan, pernah di suatu tempat diserang dan
dibom Belanda, padahal kira-kira setengah jam sebelumnya Jenderal Soedirman
masih tinggal di sana.






Semula direncanakan dari Trenggalek, Pangsar mendirikan markas di Kediri. Tapi
oleh Komandan Militer Jawa Timur dikatakan daerha tersebut tidak aman. Pangsar
pun memutari Gunung Wilis, kembali menuju Jawa Tengah. Di daerah Sedayu, Pangsar
hampir tertangkap pasukan Belanda yang sudah mengepung. Alhamdulilah, hujan yang
turun dengan lebat mampu mengecoh Belanda sehingga Pangsar dan pasukannya
selamat.







Dalam perang gerilya, Pangsar terus mengeluarkan perintah-perintah harian untuk
seluruh rakyat dan angkatan perang. Apalagi saat itu Presiden dan Perdana
Menteri sudah ditangkap Belanda. Akhirnya, dari markasnya di SOBO, Lereng Lawu,
Pangsar memerintahkan agar komandan-komandan wilayah mengadakan Serangan Umum di
Jogjakarta untuk menunjukkan eksistensi Republik Indonesia walaupun
pemimpin-pemimpin pemerintahan sudah ditangkap. Akibat Serangan Umum itulah
dunia terhenyak. Ternyata Republik Indonesia masih aksis. Angkatan Perang yang
dipimpin Pangsar Soediman masih mampu menunjukkan tajinya. Akhirnya, dunia pun
menekan Belanda untuk melakukan perundingan.

Kembali Ke Jogja
Begitu Jogjakarta aman, Pangsar Soedirman pun dipanggil pulang oleh Presiden.
Tetap dalam kondisi sakit keras dengan ditandu beliau menuju Jogjakarta. Tanggal
10 Juli 1949, Pangsar dengan pasukannya tiba di Ibukota Yogyakarta Rakyat
berjejer mengelu-elukannya di kiri-kanan jalan. Mereka ingin bertemu langsung
dengan Pangsar yang memilih perang gerilya walau sakit ketimbang istirahat di
tempat tidur.
Tapi, melihat kondisi Pangsar yang lusuh dan lemah, Rakyat maupun Prajurit yang
selama bergerilya dengan beliau terkenal gagah berani, tak kuasa menahan air
mata. Banyak rakyat dan Prajurit yang menangis tersedu-sedu saat menyambut
Pangsar Soedirman di Alun-alun Utara Yogyakarta.
Sungguh perjuangan yang sangat luar biasa dari Pangsar Soedirman dan
pasukannya. Melintas hutan, sungai melewati tak kurang dari 75 kota besar dan
kecil. Menempuh jarak sepanjang 1009 KILOMETER, yang kebanyakan dengan jalan
kaki. Presiden dan Sultan Jogjakarta sangat haru dan kagum atas perjuangan
Pangsar Soedirman. Maka selepas penyambutan, kondisi Pangsar terus meburuk.
Setelah diperiksa ternyata paru-paru yang tinggal satu juga terserang penyakit
parah. Maka Pangsar harus istirahat total di Rumah Sakit.
Namun, karena kondisi Pangsar yang sudah terlanjur parah, maka kian hari kian
bertambah buruk. Maka, Tanggal 29 Januari 1950, Jenderal Soedirman Panglima
Besar Angkatan Perang Republik Indonesia wafat di Pesanggrahan Militer,
Magelang. Jenazahnya dimakamkan esok harinya di Taman Makam Pahlawan
Kusumanegara Yogyakarta.



Seperangkat alat rumah tangga yang pernah digunakan oleh pangsar Soedirman di
Desa Bajulan Nganjuk, Jawa Timur




Demikian peristiwa heroik yang penulis rekam dari kunjungan di Museum Brawijaya
Malang. Tak heran, jika di depan Museum ini ada Patung Setengah Badan, Pangsar
Jenderal Soedirman, yang ditujukan untuk mengenang dan mengabadikan jasa-jasa
Pangsar Soedirman yang dalam keadaan sakit parah , tetap setia berjuang bersama
anak buahnya dengan bergerilya. Tidak untuk mencari harta, kedudukan atau
pangkat tapi untuk menegakkan Sang Merah Putih agar tetap berkibar di Bumi
Pertiwi.

Halaman depan Museum Brawijaya (dok pribadi)






You may view the latest post at
http://cerita.biz/

Best regards,
Cerita
http://cerita.biz

No comments:

Post a Comment